PUASA DAN KESADARAN "FILANTROPI" ISLAM

Oleh :

Dr. Achmad Kholiq, MA

Relasi Puasa dan Filantropi

          Relasi terminoligis antara puasa dengan diskursus filantropi dari sudut pandang kebahasaan tampaknya kurang begitu familiar, bahkan kurang begitu di kenal oleh khalayak komunitas muslim. Hal ini cukup dimaklumi mengingat istilah  filantropi berlaku juga bagi di kalangan non muslim bahkan semua agama di dunia Secara filosofis, pelaksanaan ibadah puasa memiliki keterkaitan yang kuat dan sangat akrab dengan kesadaran filantropi yang kini hampir menjadi "trade mark" umat Islam pada bulan ramadhan ini. 

          Filantropi, yang dalam kajian keilmuan kontemporer di artikan sebagai kedermawanan, kemurah hatian, beramal soleh sosial sebenarnya hampir satu umur usianya dengan masuknya Islam di negeri ini. Artinya kesadaran pentingnya membagun "institusi" filantropi sebenarnya inheren dengan pelaksanaan puasa itu sendiri. Dengan memahami hakekat filantropi itu maka ada satu hipotesa dalam logika kita, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan puasa dengan kesadaran membangun dan membudayakan filantropi di kalangan umat Islam.

          Banyak statemen statemen Qur'an, sunnah nabi maupun pandangan para ulama, baik secara eksplisit maupun implicit, yang mengisyaratkan  bahwa puasa yang dilakukan umat Islam tidak saja merupakan manifestasi ketaaan beribadah seorang hamba  secara vertikal kepada Tuhan, akan tetapi puasa juga mengajarkan manusia untuk membangun dimensi horizontal dan mebuka akses kemanusiaan dalam bentuk ibadah sosial, yang salah satu formatnya adalah dalam bentuk berderma, bermurah hati dengan sesama, baik berupa zakat, infaq, shadaqah , wakaf  dan amal sosioal lainnya. Pesan moral puasa pada aspek sosial menjadi keniscayaan setelah pesan pesan pendekatan terhadap Tuhan, hal ini mengisyaratkan bahwa kesempurnaan "konstruk" keimanan seseorang sangat bergantung pada keseimbangan dua pesan moral ini. Dengan kerangka pemikiran inilah maka kesadaran menumbuhkan tradisi filantropi di kalangan umat Islam menjadi tak terbantahkan, lebih lagi pada bulan puasa ini.

          Puasa, idealnya merupakan sebuah piranti yang dapat dijadikan proyek perubahan sikap mental manusia menuju kesadaran yang lebih tinggi baik secara vertikal maupun horizontal. Puasa yang tidak berdampak pada perubahan sikap sosial yang lebih soleh, dianggap sebagai pengingkaran terhadap misi puasa itu sendiri. Puasa verbal yang terjebak pada rutinitas ritual, dan mengabaikan aspek-aspek sosial akan menjadi puasa yang tidak imbang dan dapat mengarah kepada puasa mubadzir dan formalistis, hal ini sejalan dengan misi ibadah puasa, bahwa puasa pada hakekatnya merupakan upaya pembentukan karakter manusia agar memiliki watak yang utuh dari dua dimensi, yaitu dimensi kesalehan pribadi dan dimensi kesalehan sosial. Kesalehan pribadi tidak menjadi paripurna jika tidak dibarengi dengan kesalehan sosial, begitupun sebaliknya.

          Terlepas dari hanya sekedar trend atau fenomena sisoal yang terjadi di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bulan ramadhan ini tidak hanya marak oleh pelaksanaan puasa umat Islam, akan tetapi ternyata juga marak oleh munculnya kesadaran untuk berderma, berbagi dengan sesama yang di lakukan oleh berbagai kalangan. Berbagai lembaga  pengumpul zakat, infaq dan sodakah yang menjamur di Indonesia ini telah mengambil momentum puasa sebagai salah satu media untuk melakukan sosialisasi dan penjemputan dana sosial di kalangan para aghniya, dan hasilnya memang sangat efektif. Tidak heran jika dari sebuah penelitian dihasilkan bahwa penggalangan dana sosial dari kalangan muslim jauh lebih meningkat kwantitasnya di bulan ramadhan jika dibanding dengan bulan bulan lainnya. Ini bebarti bahwa kesadaran filantropi di kalangan umat Islam sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan puasa.

          Paling tidak ada dua alasan mengapa kesadaran membangun tradisi filantropi di bulan ramadahan ini jauh lebih meningkat, pertama. Adanya motivasi dan dorongan yang kuat akan keyakinan umat Islam tentang kedahsyatan reward (pahala) bagi orang yang melakukan amal sosial di bulan ramadhan, di bandingkan dengan bulan lainnya.  keyakinan ini telah sedemikian rupa melekat di kalangan umat Islam karena dianggap sebagai pesan agama yang paling penting dan sakral. Pesan-pesan agama dan moral yang terdapat dalam puasa telah begitu rupa membangkitkan kesadaran yang signifikan bagi umat Islam akan pentingnya membentuk karaktrer sosial yang utuh dan tangguh.  Kedua,  Secara eksternal kesadaran itu muncul sebagai pengaruh dari upaya sosialisasi berbagai lembaga filantropi (zakat, Infaq, shodaqoh wakaf dan sejenisnya) akan pentingnya kesadaran filantropi bagi peningkatan kesejahtaraan sosial bagi banyak orang. Informasi yang utuh dan berbagai kemudahan serta manfaat filantropi yang dikemas melalui media, banyak mempengaruhi perspektif umat Islam tentang pentingnya berderma dan beramal sosial, wal hasil kesadaran filantropipun pun semakin mendapat tempat  yang strategis dikalangan umat Islam.

Manifestasi Filantropi dalam puasa

          Secara teknis misi utama filantropi dalam ajaran Islam adalah pemberdayaan ummat dan peningkatan kesejahteraan, atau dalam redaksi yang lebih filosofis adalah mengurangi disparitas (kesenjangan) antara aghniya dan dhu'afa, serta ikut berbagi rasa dengan sesama. Hal ini berarti bahwa kedermawanan adalah watak dasar dari filantropi. Filantropi bahkan menjadi salah satu etika dan akhlak Islami yang menempati pilar kedua setelah shalat. Hampir seluruh ayat dalam al-Qur'an selalu menyebutkan pentingnya kedermawanan seiring dengan perintah melaksanakan shalat. Kedermawanan dalam bingkai ajaran Islam bermakna kepedulian bagi golongan yang secara ekonomi, sosial politik dan kultural berada pada posisi yang kurang menguntungkan (tertindas). Kesadaran akan budaya Filantropi sebenarnya juga merupakan aktualisasai nilai Islam akan kepedulian sosial di lingkungannya, Karena (sekali lagi) Islam didasarkan pada ketaatan akan Tuhan (teosentris) dan selalu berhadapan dengan arus balik kepedulian sosial yang tinggi (humanisme). Kesalehan pribadi yang dibangun dengan puasa dan shalat berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang pada sisi ini selalu mempunyai kerelasi positif dengan misi kemanusiaan universal. Doktrin kesalehan sosial yang menjadi pilihan umat Islam ketika ia berpuasa, dengan tegas mendapat legitimasi yang kokoh dari Al-Qur'an :"yang  mengajarkan agar setiap pribadi muslim untuk terus berusaha menolong sesamanya meskipun dalam waktu susah dan senang ( QS 17 : 29).

          Menurut yurisprudensi Islam (fiqh), Kewajiban membudayakan sekaligus melaksanakan filantropi  sebagai bentuk komitmen kemanusiaan dan ketuhanan terdapat dalam institusi institusi yang sering di sebut: zakat, infaq, waqaf dan sodakoh. Manifestasi dari institusi institusi ini semkain mendapat apresiasai yang signifikan di kalangan umat Islam, tertuama di bulan ramadhan. Tidak berlebihan jika ramadhan dengan ibadah puasanya menjadi "ladang subur" bagi perkembangan pelaksanaan filantropi Islam. Ini Artinya bahwa bahwa sensifitas dan kepekaan umat Islam terhadap dimenesi sosial mendapat tempat yang tinggi di bulan puasa, maka tidak berlebihan jika tesis bahwa ada korelasi positif antara puasa dan kesadaran berderma sebagai manifestasi filantropi Islam dapat teruji secara benar. Tinggal lagi masalahnya adalah bagaimana kesadaran membangun tradisi filantrolpi itu tidak saja berada pada tataran verbal dan formalistis tetapi lebih bernuansa subtantif , sehingga akar akar dimensi kemanusiaan umat Islam di bulan puasa ini tidak rapuh dan bersifat temporer

          Di bulan puasa juga merupakan momentum yang strategis untuk merekonstruksi Institusi Filantropi dan berderma dalam Islam sesuai dengan misi awal dari filantropi. Hal ini penting, karena  jika puasa berdampak positif bagi tumbuhnya kesadaran membangun tradisi dan intitusi filantropi di kalangan umat Islam, maka out came yang diharapkan dari berkembangnya budaya filantropi seharusnya juga berdampak  pada peningkatan kesejahteraan umat dan meminimalisir disparitas yang masih banyak terjadi dikalangan umat Islam.

Wallahu a'lam

Cirebon, 1 Ramadhan 1444 H

Achmad Kholiq.

Tinggalkan Balasan